Senin, 02 November 2009

Demokrasi indonesia

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN DEMOKRASI INDONESIA

 MENATA demokrasi melalui pendidikan masih belum terinstitusionalisasi secara sistematis di Indonesia. Padahal, di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan di Eropa, pendidikan demokrasi adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional mereka.
 Sebagai output dari pendidikan yang demokratis, kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi adanya keterkaitan antara sikap-sikap demokratis warga negara dan program pendidikan demokrasi, populer dengan sebutan civic education (pendidikan kewarganegaraan), yang ditempuh melalui jalur pendidikan formal.
 Bagi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia, pendidikan kewarganegaraan yang mampu memperkuat barisan masyarakat sipil yang beradab dan demokratis amat penting diakukan.
 Pendidikan kewarganegaraan bukanlah barang baru dalam sejarah pendidikan nasional. Di era Soekarno, misalnya, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan pendidikan civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan.
 Sayang, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde Baru (Orba), seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila.
 Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite politik dan pelaku bisnis sejak masa Orba hingga kini bisa menjadi fakta nyata gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu.
Reformasi pendidikan
 Mencermati hal penting itu, upaya reformasi atas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) nasional sudah saatnya dilakukan. Beberapa unsur penting dalam pembelajaran PPKn perlu segera dilakukan perubahan secara mendasar: konsep, orientasi, materi, metode dan evaluasi pembelajarannya.
 Secara konseptual, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu bentuk pendidikan yang memuat unsur-unsur pendidikan demokrasi yang berlaku universal, di mana prinsip umum demokrasi yang mengandung pengertian mekanisme sosial politik yang dilakukan melalui prinsip dari, oleh, dan untuk warga negara menjadi fondasi dan tujuannya.
 Mengaca pada realitas demokrasi di Indonesia, pendidikan demokrasi yang disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan dengan konsep itu sudah saatnya dilakukan. Tujuan pendidikan ini adalah untuk membangun kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu menggunakannya secara demokratis dan beradab.
 Dalam konteks pendidikan demokrasi, pandangan tentang demokrasi dari filsuf pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, dapat dijadikan rujukan yang relevan. Menurut dia, demokrasi bukan sekadar bentuk suatu pemerintahan, tetapi lebih sebagai pola hidup bersama (associated living) dan hubungan dari pengalaman berkomunikasi.
 Oleh karena itu, kata penulis buku Democracy and Education itu, kian banyak orang terlibat dalam kepentingan-kepentingan orang lain yang berbeda, mereka akan kian banyak merujuk segala perbuatannya kepada kepentingan orang banyak, kian majemuk, dan, masyarakat itu akan semakin demokratis (Revitch, 2001). Idenya tentang demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok tampak sesuai realitas kultural dan sosial Indonesia yang majemuk.
 Orientasi lama pengajaran PPKn yang lebih menekankan kepatuhan peserta didik kepada negara sudah saatnya diubah ke arah pengajaran yang berorientasi pada penyiapan peserta didik menjadi warga negara yang kritis, aktif, toleran, dan mandiri.
 Jika orientasi pendidikan PPKn masa lalu telah terbukti gagal melahirkan manusia Indonesia yang mandiri dan kreatif, karena terlalu kuatnya muatan "pengarahan" negara atas warga negara, pendidikan kewarganegaraan mendatang seharusnya diarahkan untuk membangun daya kreativitas dan inovasi peserta didik melalui pola-pola pendidikan yang demokratis dan partisipatif.
 Absennya dua faktor ini dalam sistem pendidikan masa lalu ternyata telah berakibat fatal manakala negara sendiri tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.
 Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari peran pendidikan kewarganegaraan di masa lalu yang kurang memberi ruang bagi pengembangan sikap mandiri dan kreativitas di kalangan peserta didik.
 Materi PPKn merupakan unsur lain dari pendidikan kewarganegaraan nasional yang harus segera dilakukan pembaruan. Masih kuatnya unsur- unsur militeristis dan indoktrinasi dalam materi ajar PPKn sudah selayaknya diganti dengan pengetahuan yang dibutuhkan oleh tiap warga negara, yakni materi ajar yang berhubungan dengan pengembangan prinsip-prinsip demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia.
 Materi ajar PPKn yang berbasis pada penafsiran tunggal Pancasila dan bersifat sempit tidak bisa lagi dipaksakan berjalan dengan semangat zaman demokrasi yang menekankan pada pembentukan warga negara yang berwawasan luas dan terbuka (outward looking) bagi beragam pandangan, termasuk tafsir alternatif terhadap dasar negara Pancasila sekalipun.
 Tak kalah penting dari dua unsur itu adalah metode pengajaran PPKn yang selama ini dilakukan dengan cara-cara indoktrinatif sudah tidak cocok lagi. Metode itu juga harus diganti dengan metode pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai pusat proses pembelajaran merupakan cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan mendesak akan pendidikan kewarganegaraan yang demokratis.
 Melalui metode baru ini, guru dan murid tidak lain merupakan mitra belajar yang sama- sama mempraktikkan demokrasi sepanjang pembelajaran di kelas melalui kegiatan belajar yang berbasis pengembangan berpikir kritis peserta didik.
 Terkait dengan reformasi keempat unsur itu adalah model evaluasi. Bentuk evaluasi kuantitatif yang masih banyak dilakukan dalam pengajaran PPKn selayaknya digabungkan dengan evaluasi pembelajaran yang bersifat kualitatif, yang menekankan aspek-aspek sikap dan perilaku peserta didik.
 Evaluasi kualitatif dapat dilakukan dalam bentuk portofolio atau kumpulan arsip aktivitas peserta didik, seperti karangan, tugas kelompok, dan tanggapan siswa.
Pengalaman UIN Jakarta
 Sejak 1999, saya terlibat aktif dalam memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan di Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta. Di situ saya memberi tekanan orientasi pada sistem pembelajaran yang demokratis. Empat faktor yang meliputi perubahan adalah orientasi, materi, metode, dan evaluasi pembelajaran, diramu dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan baru untuk tingkat perguruan tinggi.
 Materi-materi pokok, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil, dirancang dalam pengajaran yang menekankan prinsip-prinsip model pembelajaran aktif (active learning) dengan evaluasi gabungan antara evaluasi kuantitatif dan kualitatif sebagaimana digambarkan di atas.
 Dengan dukungan Departemen Agama, sejak tiga tahun lalu, pengalaman UIN Jakarta dalam pelaksanaan pendidikan demokrasi telah didiseminasikan di seluruh perguruan tinggi agama Islam negeri dengan melibatkan ribuan mahasiswa dan ratusan dosen. Mulai tahun ini program nasional ini akan dilaksanakan di sejumlah perguruan tinggi agama Islam swasta Indonesia.
 Menurut hasil evaluasi, program ini dinilai amat positif. Sebagian besar responden (dosen dan mahasiswa) menyatakan, mereka mendapatkan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh warga negara yang demokratis: pengetahuan tentang demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan kemampuan untuk mengartikulasikan pendapat serta perasaan mereka sepanjang perkuliahan ini berlangsung.
 Metode pembelajaran demokratis yang dipraktikkan dosen dinilai dapat memacu keterlibatan mahasiswa selama proses pembelajaran. Diharapkan, ijtihad pendidikan demokrasi ini dapat memberi sumbangan berarti bagi pengembangan kultur demokratis di negeri ini.





WAFATNYA SOEHARTO DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI

 Berita wafatnya Soeharto, pada hari Minggu, 27 Januari 2008 telah menjadi pusat perhatian bangsa Indonesia, bahkan masyarakat internasional. Televisi dan media massa lainnya banyak mempublikasikan tentang hal-hal berkaitan dengan wafatnya Presiden Kedua Republik ini, termasuk juga sejarah dan riwayat perjuangan hidupnya.
 Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyertai perjalanan hidupnya, wafatnya penguasa orde baru ini tampaknya bisa dijadikan momentum yang baik bagi seluruh anak bangsa ini sebagai bahan pembelajaran.
 Pembelajaran pertama, bahwa kita harus menyadari kekuasaan dan gaya kepemimpinan otoriter bukan hal yang tepat bagi bangsa ini. Meski pertumbuhan ekonomi pada masa kekuasaannya sangat signifikan, tetapi fundasi yang diletakkannya tidaklah cukup kokoh untuk menghadapi berbagai tantangan perubahan, baik yang bersumber dari internal maupun eksternal. Bangunan ekonomi yang dihasilkan dari pinjaman luar negeri menjadi luluh lantak hanya dalam hitungan hari saja dan anak-cucu kita harus menanggung beban untuk melunasinya. Kekuasaan otoriter memang sangat rentan dengan berbagai penyimpangan, seperti kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga saat ini belum bisa dibasmi tuntas, karena sudah sangat kuat mengakar, khususnya dalam jaringan birokrasi kita. 
 Pembelajaran kedua, meski sudah memasuki satu dasa warsa menghirup udara demokrasi, namun tampaknya masyarakat masih membutuhkan pembelajaran lebih banyak lagi tentang bagaimana sesungguhnya hidup berdemokrasi. Untuk bisa dan biasa hidup berdemokrasi memang tidak dapat dilakukan secara instan, namun membutuhkan kesabaran dan kesungguhan dari semua pihak. Dalam hal ini, pendidikan tentang demokrasi bagi seluruh anak negeri menjadi penting. Jika hal ini tidak dilakukan, maka masyarakat atau bangsa ini tetap saja tidak akan pernah tercerahkan dan alam tak sadarnya akan kembali merindukan bentuk kehidupan yang serba terkerangkeng, cenderung menyukai hidup untuk menjadi hamba ketimbang menjadi dirinya sendiri.
 Kini Soeharto telah tiada, dan ketika semasa hidupnya dia seolah-olah menjadi sosok manusia yang tak dapat disentuh oleh hukum, entah karena budaya rikuh dari pada penegak hukum itu sendiri atau karena faktor lainnya sehingga kasus-kasus hukumnya menjadi terkatung-katung tanpa kepastian hingga akhir hayatnya. Penyelesaian kasus-kasus hukum tampaknya akan lebih berlangsung seru dihadapan di hadapan sang Khalik, dan disanalah keadilan yang sejati akan diperoleh, tentunya tanpa didampingi lagi para pengacara yang semasa hidupnya demikian gigih membelanya, melalui berbagai cara untuk menyelamatkannya dari berbagai jeratan hukum.
 Bisakah kita semua belajar dari semua ini, sehingga kita bisa menatap dan menapaki kehidupan mendatang yang lebih baik lagi?

Tanggapan ke “Wafatnya Soeharto dan 
Pendidikan Demokrasi”
mari bersama memabangun bangsa, karena bangsa ini membutuhkan para pemikir dan praktisis poloitik yang di redhai Allah Swt. 
PakHartoAdalahPahlawan
Dan Tetap jadi Idola 
Banyak kepala banyak Pemikiran

Banyak Pengalaman banyak Pendapat

Banyak Kejadian banyak Resiko

Ada Perjuangan Ada Pengorbanan

Memandang Persoalan (Kebijakan/Kejadian)Perlu Melihat Situasi dan Kondisi Sosial Politik dan Ekonomi serta Sistem yang ada saat Kebijakan dan atau Kejadian tersebut Diambil atau Terjadi.
Itulah Kali kata Bijak Yang harus kita Pertimbangkan ketika kita memasuki persoalan Sebagaimana Persoalan Pak Harto yang saat ini menjadi fokus Perbincangan masyarakat Indonesia dan Dunia.
Semua Perbuatan orang akan nampak Salah Bila Kita Memandang dari Sudut pandang dan pengalaman kita serta Kebenaran Kita, tanpa melihat kepentingan orang lain atau kepentingan yang lebih besar.
Manusia tetap manusia yang tidak akan sempurna, tapi kita diberi akal dan pikiran untuk “Memilah dan Memilih” Keputusan mana yang lebih baik kita ambil demi Kepentingan yang “Lebih Besar”.
Melindungi Suluruh Rakyat, Mencerdeskan Kehidupan bangsa dan ikut menjaga Ketertiban Dunia itulah tujuan Negara Ini di Bentuk, sehingga kesanalah kita perlu berpijak dengan segala tindakan kita.

Dan Untuk itu Diamanatkan pada Pemerintah untuk Mengaturnya dan mengambil langkah kebijakan demi tercapainya Tujuan tersebut.
Keputusan, Kebijakan memang tidak akan bisa memuaskan dan menguntungkan semua pihak secara sama, namun kebaikan atau keuntungan yang lebih besar itu yang harus menjadi pertimbangan kita dalam menilai sebuah “Kebijakan”
Semoga Bangsa ini (Indonesia) Menjadi bangsa yang “Tetap Bisa Memilih dan Memilah” Mana yang seharusnya kita pilih dan mana yang tidak.
Kita ambil Contoh : Kitika mahasiswa demo untuk memperjuangkan perubahan di negeri ini dengan gerakan “Reformasi” dan ada beberapa korban Mahasiswa meninggal, Banyak orang (terutama Mahasiswa dan keluarga Korban) menuntut untuk diangkat jadi “Pahlawan Reformasi” dan itupun dilakukan dengan berbagai umpatan cacian terhadap pemerintah dan rezim berkuasa sudahkah ini sepadan dengan darma baktinya dibanding dengan pak Harto???!!! yang dengan berbagai kekurangannya sebagai manusia telah mampu memimpin dan membangun negeri ini dan mendapat berbagai penghargaan internasional hingga nama Indonesia dikenal dimata Dunia???
Mudah-Mudahan Bangsa ini kedepan menjadi Bangsa yang Obyektif dan selalu melihat sesuatu dari sudat pandang Saat, situasi dan Kondisi masalah tersebut Terjadi. Semoga Kepentingan yang lebih Besar selalu menjadi Acuan dalam memandang sesuatu masalah dan Kebijakan.
Makna Demokrasi yang paling penting adalah : “Bisa Memahami dan Mengerti Kepentingan Orang lain dan menempatkan Kepentingan yang lebih Besar di atas kepentingan pribadi, golongan dan kelompok”

“Demokrasi bukan Wacana dan apalagi Tujuan, tapi demokrasi Adalah sikap, dan jalan untuk mencapai Tujuan”
:”Semuga bangsa ini segera sadar dari mimpi dan segera kembali pada “Jati Diri” Yakni, Bangsa yang mempunyai Sistem sosial dan Budaya Sendiri yang sebenarnya sangat-sangat cocok untuk Negeri ini, kalau kita mampu mengelolanya, Dan akan sangat berbahaya bila kita salah mengelola. 
“Selamat jalan Pak Harto” Semoga segala amal kebaikan diterima dan segala salah Diampuni. Sebagian besar bangsa ini mendoakanmu, dan akan tetap mengenangmu, amiiin.
sebenarnya sejarah seperti itu bisa kita jadikan contoh yang nantinya jangan sampai terulang. namun kasus soeharto dan kroni kroniny harus di usut sampai tuntas jangan hanya dengan setengah hati saja. jangan pikir mahasiswa saat ini hanya diam, tuli, ataupun buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COment mY bLog yUa...